Cyberindonesia.net – Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri bekerja sama dengan Singapore Police Force (SPF) untuk mengungkap jaringan perdagangan bayi lintas negara yang beroperasi di Jawa Barat.
Sebelumnya, Polda Jawa Barat mengungkap jaringan ini pada Juli 2025 lalu. Polisi telah menetapkan 22 orang tersangka.
Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Untung Widyatmoko menyatakan bahwa kolaborasi ini merupakan tindak lanjut dari kasus perdagangan bayi dengan jalur penyelundupan dari Bandung, Pontianak, Jakarta, hingga Singapura.
“Perdagangan bayi ini kami telusuri alurnya sampai ke luar negeri,” ujar Untung, Jumat, 19 September 2025.
Dalam kerja sama tersebut, polisi Singapura siap membantu pemeriksaan saksi-saksi yang relevan. Daftar pertanyaan dari penyidik Polda Jawa Barat akan dikirim melalui NCB Jakarta untuk diteruskan ke NCB Singapura pada akhir pekan ini.
“Selain itu, SPF juga siap membantu pencarian tiga warga negara Singapura yang diduga terlibat,” ucap Untung.
Divhubinter Polri juga menyarankan penyidik menelusuri data Nomor Induk Kependudukan (NIK) porter yang diduga membawa bayi ke Singapura, guna memastikan identitas serta jalur keberangkatan.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Pol Surawan menyebutkan bahwa setiap bayi diperdagangkan dengan harga sekitar 20 ribu dolar Singapura atau setara Rp254 juta. Angka itu mencakup biaya persalinan, kebutuhan bayi, hingga keuntungan bagi para pelaku.
“Nilai tersebut kami peroleh dari 12 dokumen akta notaris adopsi yang disita di rumah tersangka Siu Ha alias SH. Dokumen berbahasa Inggris itu digunakan sebagai legalitas semu untuk memuluskan transaksi adopsi,” tutur Surawan.
Hasil penyelidikan mengungkap sindikat ini telah mengumpulkan 25 bayi, dengan 15 di antaranya dipindahkan ke Singapura lewat modus adopsi.
Para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda Rp600 juta.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut para sindikat ini biasanya mengincar para perempuan hamil yang kondisinya putus asa.
Seperti Erika Ratna Sari. Oleh seorang pemilik klinik persalinan di Jakarta, dia dipaksa menyerahkan bayinya yang baru saja dilahirkan karena tak punya uang membayar ongkos persalinan sebesar Rp3,5 juta.
“Dia terus menekan saya supaya memberikan bayi saya. Katanya, saya harus membayar biaya persalinan Rp3,5 juta atau anak saya ditahan. Waktu itu memang suami saya enggak punya duit sama sekali,” tutur Erika.***


