Konflik Manusia dengan Satwa Liar di Lampung Terus Meningkat Sejak 2014

Berita Utama187 views

Cyberindonesia.net – Konflik manusia dengan satwa liar di Provinsi Lampung terus meningkat sejak 2014 lalu. Konflik terjadi di Tanaman Nasional Way Kambas, (TNWK), dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

Tercatat,  konflik manusia–gajah di Way Kambas rata-rata terjadi 185 kali per tahun di 13 desa terdampak. Sedangkan di Bukit Barisan Selatan, konflik mamusia-harimau tercatat rata-rata 53 kejadian per tahun di 12 desa.

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal terus mengupayakan penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar. Caranya dengan pemulihan ekosistem, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi lingkungan.

Menindaklanjuti upaya tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung menggelar Rapat Koordinasi Tim Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar di Provinsi Lampung, di Ruang Rapat Sakai Sambaian, Kantor Gubernur Lampung, Teluk Betung, Kota Bandar Lampung, Rabu, 13 Agustus 2025.

Rakor dipimpin Wakil Gubernur (Wagub) Lampung Jihan Nurlela. Hadir Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu dan Lampung.

Rakor membahas langkah strategis penanganan interaksi negatif antara manusia dan satwa liar, khususnya gajah dan harimau Sumatera. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi signifikan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Y. Ruchyansyah menunjukkan, sepanjang 2024–2025 di TNBBS tercatat delapan insiden konflik harimau Sumatera yang mengakibatkan tujuh korban jiwa.

Sementara di Kabupaten Lampung Timur pada Juni 2025, sekelompok gajah memasuki area perkebunan di perbatasan Desa Braja Asri dan Braja Sakti, mengakibatkan kerugian materi yang besar.

Untuk konflik manusia–harimau, tercatat rata-rata 22 kejadian per tahun di 14 desa, dengan dampak kehilangan ternak sebanyak 192 ekor serta korban jiwa manusia.

Menanggapi hal tersebut, Wagub Lampung mendorong langkah strategis dan terukur dalam menangani konflik antara manusia dan satwa liar yang dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat, khususnya sejak 2014.

Wagub Lampung mengakui bahwa forum koordinasi yang selama ini dibentuk belum berjalan optimal. Bahkan, masih terdapat pimpinan daerah yang belum mengetahui keberadaan forum tersebut.

Menurut Jihan, kondisi ini menghambat upaya penanganan konflik dan perlu segera dibenahi. “Forum koordinasi ini belum maksimal. SK Tim Koordinasi Penanganan Konflik Manusia–Satwa Liar yang dibentuk sejak 2021 perlu diverifikasi ulang. Anggotanya harus diperluas, termasuk melibatkan bupati/wali kota, media, dan akademisi,” ujar Wagub Lampung.

Jihan menegaskan, keterlibatan akademisi sangat penting untuk melakukan riset berkala mengenai dinamika populasi satwa liar dan kondisi habitatnya. Data ilmiah dari riset tersebut akan menjadi dasar dalam merumuskan langkah penanganan dan kebijakan.

Selain penguatan kelembagaan, Wagub Lampung juga menyoroti pentingnya penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan mitigasi penanganan konflik. Selama ini, penanganan di lapangan sering terkendala saling lempar tanggung jawab antarinstansi. Dengan SOP yang jelas, akan ada pembagian tugas yang tegas, termasuk penentuan pihak yang harus bertindak pertama, langkah penanganan yang diambil, serta target waktu penyelesaian.

Dalam kesempatan ini pula, Wagub Lampung turut mendorong penyusunan mitigasi jangka panjang. Antara lain pemetaan wilayah rawan, pemasangan tanda peringatan atau banner, serta pengawasan titik-titik hotspot.

“Kita juga harus mempertimbangkan pembagian wilayah kerja antara provinsi dan kabupaten/kota, terutama daerah yang memiliki kawasan hutan dan rentan konflik. Dukungan anggaran serta keterlibatan mitra terkait menjadi kunci keberhasilan penanganan ini,” tutur Jihan.

Wagub Lampung menegaskan tiga langkah penting yang harus segera diperkuat dalam penanggulangan konflik ini. “Pertama, SK Tim Koordinasi perlu diverifikasi ulang agar lebih optimal dan melibatkan pihak terkait secara luas, termasuk kabupaten/kota yang memiliki kawasan terdampak, akademisi, dan media,” ujar Jihan.

“Kedua, penyusunan SOP penanganan konflik harus jelas. Siapa yang bertanggung jawab dan apa yang dikerjakan? Sehingga mitigasi penanganan konflik bisa berjalan efektif,” kata Jihan.

“Ketiga, kita perlu melakukan mitigasi jangka panjang melalui pemetaan wilayah rawan, pemantauan satwa, serta pemulihan ekosistem melalui rehabilitasi lingkungan dan sosial,” kata Jihan meneruskan.

Rapat persiapan ini juga menindaklanjuti rencana tindak lanjut yang sebelumnya belum terealisasi, termasuk revisi SK Tim Koordinasi dan Satgas Penanggulangan Konflik Manusia–Satwa Liar Provinsi Lampung agar lebih detail dalam pembagian tugas dan pola koordinasi lintas instansi.

Selain itu, dibahas pula strategi penguatan kapasitas desa mandiri konflik, penyusunan panduan teknis penanganan konflik, pengembangan ekonomi alternatif ramah lingkungan, peningkatan patroli dan rehabilitasi habitat, hingga penggunaan teknologi seperti GPS collar untuk pemantauan pergerakan satwa.

Kepala Balai Besar Hifzon Zawahiri menyoroti berkurangnya pakan alami sebagai salah satu pemicu satwa ke luar dari kawasan.

“Kemungkinan besar pakan satwa yang ada semakin berkurang. Untuk menyelesaikan permasalahan pakan, kita ada masukan solusi kalau babi, terutama babi hutan, akan kita masukkan ke dalam kawasan karena itu pakan yang paling efektif dan berkembang biak cepat,” tuturnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *