Cyberindonesia.net – Lampung masih menghadapi tantangan besar pada isu kekerasan perempuan dan anak. Per 26 September 2025, tercatat 586 kasus kekerasan, dengan 504 kasus (86%) menimpa perempuan, dan 420 kasus (72%) menimpa anak.
Fakta tersebut berdasarkan data Sistem Imformasi Online Perlindungam Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Bentuk kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kota Bandar Lampung sebagai wilayah dengan kasus tertinggi.
Tahun lalu, Kota Bandar Lampung juga mencatat korban terbanyak, baik anak (140 korban) maupun perempuan (69 korban). Kekerasan fisik, seksual, dan penelantaran masih mendominasi, dengan rumah tangga sebagai lokasi tertinggi.
Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung bertekad memperkuat peran UPTD PPA, perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM), pusat pembelajaran keluarga (Puspaga), Forum Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa), serta layanan rujukan terpadu agar korban memperoleh perlindungan dan pemulihan yang cepat, tepat, dan berkeadilan.
“Kami juga mengoptimalkan aplikasi Lampung Ini sebagai pusat pelaporan masyarakat, yang kami integrasikan dengan sistem Kementerian PPPA,” tutur Wakil Gubernur Lampung Jihan Nurlela dalam acara penandatanganan Komitmen Bersama antara Kementerian PPPA, Pemerintah Provinsi Lampung, dan 15 kepala daerah se-Lampung di Ruang Rapat Utama, Kantor Gubernur Lampung, Sabtu, 27 September 2025.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menegaskan bahwa pembangunan perempuan dan anak harus menjadi prioritas. Sebab, arena perempuan mengisi hampir separuh populasi penduduk dan anak mencapai sepertiga jumlah penduduk Indonesia
“Banyak masalah dapat diselesaikan lebih baik jika perempuan berpartisipasi. Demikian juga dengan anak, mereka harus tumbuh, berkembang, dan terlindungi agar menjadi SDM handal untuk pembangunan Indonesia,” kata Arifah.
Menteri PPPA juga menyoroti tingginya angka perkawinan anak di Lampung. Trennya sudah menurun menjadi 4,87% pada 2024, lebih rendah dari rata-rata nasional 5,90%. Namun, Arifah menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor untuk terus menekan angka perkawinan anak hingga level terendah.***

