Gus Farkhan Soroti Polemik Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: “Bangsa Jangan Hilangkan Kompas Moral Sejarah”

Nasional183 views

Cyberindonesia net – Ketua Umum DPN Bintang Muda Indonesia (BMI), Farkhan Evendi atau yang akrab disapa Gus Farkhan, menanggapi polemik pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Menurutnya, penetapan gelar kepahlawanan tidak sekadar bentuk penghargaan terhadap jasa seseorang, tetapi menyangkut persoalan moral kolektif dan pendidikan sejarah bangsa. Ia juga menegaskan bahwa makna kepahlawanan jauh lebih dalam dari sekadar penghargaan terhadap individu.

“Kepahlawanan adalah mekanisme moral kolektif, bagaimana suatu bangsa mendidik anak-anaknya untuk membedakan benar dari salah dalam sejarah. Memilih siapa yang pantas dihormati dan mana yang harus dijadikan pelajaran,” kata Cak Farhan, melalui pesan tertulisnya, Senin (10/11/2025).

Lebih lanjut, dirinya menilai, negara belum sepenuhnya memahami esensi tersebut. Karena itu, wajar jika muncul penolakan publik terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mengingat rekam jejak sejarah masa lalu yang masih menimbulkan perdebatan.

Menurut Farkhan, bangsa Indonesia memang perlu menunjukkan kedewasaan dengan menghargai jasa para pemimpin terdahulu.

Namun, di sisi lain, bangsa ini juga tidak boleh menutup mata terhadap kesalahan dan kejahatan sejarah.

“Bangsa ini tidak boleh mengaburkan kebenaran sejarah, apalagi berlindung di balik kata sakral: rekonsiliasi. Kepahlawanan bukan sekadar kemegahan personal, tapi kompas moral bagi kehidupan bersama menuju masa depan,” ujar pemimpin organisasi sayap pemuda Partai Demokrat itu.

Lebih mendalam, Gus Farkhan menilai alasan rekonsiliasi yang dijadikan dasar pemberian gelar tersebut sebagai bentuk inkonsistensi negara.

“Kalau alasan rekonsiliasi dijadikan dasar, negara seharusnya juga berlaku adil dengan mengakui peran tokoh-tokoh kiri Indonesia, yang juga ikut berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme,” katanya.

Ia menilai, negara harus bersikap adil dan konsisten dalam menilai sejarah — tidak menyeleksi tokoh berdasarkan preferensi politik masa lalu.

Di akhir pernyataannya, Gus Farkhan berharap agar bangsa Indonesia berani mengakui sejarah secara jujur dan utuh, tanpa menutup-nutupi fakta.

“Bangsa ini harus punya keberanian untuk mengakui sejarahnya sendiri dan mengajarkan konsistensi moral. Hanya dengan begitu, generasi muda bisa mewarisi pelajaran berharga dari masa lalu,” ucapnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *