Konsekuensi Geopolitik Jika Indonesia Akui Taiwan

Opini116 views

Oleh: Benz Jono Hartono*

Pembukaan

Ketika suatu hari nanti Indonesia benar-benar berani mengumumkan di hadapan dunia bahwa “kami mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat,” maka jangan kaget bila keesokan harinya dunia berguncang — bukan karena perang, tapi karena hipokrisi global akhirnya dipaksa bercermin.

Pasar saham mungkin terguncang, duta besar Tiongkok mungkin dipanggil pulang, dan ribuan analis internasional akan menulis laporan berjudul: “Jakarta has lost its mind.”

Padahal yang sebenarnya kehilangan akal sehat adalah dunia yang sejak lama tahu mana yang benar, tapi tidak berani mengatakannya.

 

Beijing Marah, Dunia Gemetar — Tapi Tidak Lama

Tentu Beijing akan marah. Mereka akan menuduh Indonesia melanggar “prinsip dasar hubungan internasional.” Akan ada ancaman embargo, mungkin juga boikot wisatawan, bahkan ancaman sanksi dagang.

Tapi tenang saja, dunia sudah pernah menyaksikan kemarahan seperti itu berkali-kali.

 

Australia pernah menolak Huawei — Tiongkok marah.

Lituania membuka kantor perwakilan Taiwan — Tiongkok marah.

AS mengirim delegasi ke Taipei — Tiongkok marah.

 

Dan seperti badai tropis di Laut China Selatan, amarah Beijing selalu datang dengan suara keras, tapi cepat reda begitu menyadari bisnis tetap berjalan. Karena pada akhirnya, Tiongkok terlalu membutuhkan dunia sebagaimana dunia membutuhkan Tiongkok.

Jadi jangan khawatir, mereka tidak akan benar-benar menutup keran dagang. Mereka hanya butuh drama sesaat untuk menjaga muka ideologinya.

 

Dunia Akan Menghormati, Meskipun Diam-Diam

Ironisnya, jika Indonesia berani melangkah pertama, negara-negara lain akan mengikuti — pelan-pelan, dengan bahasa diplomatik yang lembut seperti “kami menghormati keputusan Indonesia.”

Tapi di balik layar, Washington, Tokyo, dan Brussel akan mengangguk diam-diam sambil berkata, “Akhirnya ada yang berani lebih dulu.”

Karena dunia butuh preseden moral. Butuh seseorang yang pertama kali berkata “raja telanjang,” agar yang lain tidak lagi berpura-pura bahwa pakaian kebohongan itu indah.

Dan siapa tahu, sejarah akan mencatat Indonesia bukan hanya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tapi juga negara yang menenggelamkan kemunafikan global di Laut China Selatan.

Risiko Ekonomi vs. Keuntungan Martabat

Para ekonom pasti akan berteriak: “Ini bunuh diri diplomatik!”

Tapi mereka lupa, bangsa tidak mati karena embargo, melainkan karena kehilangan martabat.

Kita sudah terlalu sering menukar prinsip dengan proyek.

Menjual idealisme dengan pinjaman.

Menukar keberanian dengan seminar investasi.

 

Jika mengakui Taiwan berarti kehilangan beberapa kontrak dagang, biarlah. Harga diri nasional tidak bisa dibayar dengan kredit bunga rendah dari bank pembangunan Asia.

Lagipula, Taiwan sendiri adalah investor besar. Mereka punya teknologi, modal, dan etika kerja yang jauh lebih sehat daripada kapitalisme predator yang datang membawa jebakan utang.

Sebuah pengakuan politik bisa membuka babak ekonomi baru: kemitraan antarbangsa Asia yang sejajar, bukan hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima ancaman.

Dampak Domestik Politik Indonesia Akan Berubah

Jika Indonesia mengakui Taiwan, maka itu bukan sekadar pergeseran diplomatik, tapi kebangkitan moral nasional.

Sebab bangsa yang berani menantang tekanan global adalah bangsa yang sedang sembuh dari penyakit takut.

Politik dalam negeri pun akan berubah.

Para pejabat yang selama ini bangga dengan kalimat “kami menunggu sinyal dari Beijing” akan kehilangan arah.

Kementerian luar negeri akan kembali bicara dengan suara Republik, bukan suara investor.

Dan rakyat akan belajar bahwa kedaulatan bukan teori di buku PPKn, tapi tindakan nyata di meja diplomasi.

Dunia Baru yang Lebih Jujur

Pengakuan Indonesia terhadap Taiwan akan menandai lahirnya tatanan dunia baru:

Bukan lagi dunia yang tunduk pada ideologi satu negara besar, tapi dunia yang menilai sebuah bangsa dari moral dan tata kelola pemerintahannya.

Dunia yang lebih jujur akan bertanya:

Apakah ukuran kedaulatan adalah kekuatan militer, atau keberanian menjaga demokrasi?

Apakah bangsa yang menindas kebebasan orang lain boleh memonopoli kebenaran sejarah?

Dan mungkin, pada hari itu, untuk pertama kalinya sejak lama, dunia Asia akan punya arah politik yang berlandaskan akal sehat — bukan rasa takut.

Penutupan

Epilog Indonesia di Persimpangan Sejarah

Pada akhirnya, keputusan untuk mengakui Taiwan bukan sekadar urusan diplomasi; ini adalah ujian moral sebuah bangsa.

Apakah Indonesia ingin dikenal sebagai negara yang besar karena wilayahnya, atau karena keberaniannya?

Bangsa-bangsa besar tidak diukur dari jumlah pelabuhan atau bandara, tapi dari seberapa jauh mereka berani mengatakan kebenaran, meski dunia memilih berbohong.

Dan bila nanti sejarah menulis, bahwa di abad ke-21 Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang secara terbuka mengakui Taiwan, maka kita tidak sedang menciptakan musuh — kita sedang menciptakan masa depan.

Sebab setiap pengakuan terhadap kebenaran, cepat atau lambat, akan mengubah dunia.***

*Benz Jono Hartono: Praktisi Media Massa di Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *