Bukan Hanya Mahkota BM Diah

Opini154 views

Oleh: Asro Kamal Rokan*

Sampai pukul 18.00 hasil wawancara Pak BM Diah belum juga masuk ke redaksi Harian Merdeka. Suasana di redaksi lebih sibuk dari sebelumnya.

Hari itu, Selasa (21 Juli 1987) Pemimpin Redaksi Pak Ahmad Adirsyah, Wakil Pemred Pak Karim Paputungan, redaktur senior Kosasih Kamil, bolak-balik ke lantai satu, ruang redaksi koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Di sini, ada teleks kantor berita, Reuters Inggris, AP Amerika Serikat, dan LKBN Antara.

Tiba-tiba terdengar teriakan Pak Kosasih, “Sudah ada reaksi dari Nakasone, juga Teatcher.”

Yasuhiro Nakasone adalah Perdana Menteri Jepang, sedangan Margaret Teatcer, Perdana Menteri Inggris.

Namun, teleks dari Pak Diah, yang pagi tadi mewawancarai Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Mikhail Gorbachev di Kremlin, belum juga masuk. Justru berita dan reaksi para pemimpin dunia yang duluan tiba melalui Reuters dan AP, juga AFP Prancis.

Saya yang baru setahun di redaksi Harian Merdeka di Jakarta – sebelumnya koresponden Merdeka di Medan – berlomba dengan Pak Karim dan Pak Kosasih, membaca teleks dan menyobeknya. Tujuannya beda, kedua pemimpin Merdeka itu menunggu berita Pak Diah, sedangkan saya mencari berita-berita sepak bola untuk diterjemahkan.

Teleks kantor berita terus bekerja, melaporkan kejadian di seluruh dunia. Suaranya seperti mesin tik, tidak berhenti. Huruf-huruf muncul satu-satu dengan cepat, membentuk kalimat. Kertas teleks bergulung-gulung panjang. Beberapa bagian saya sobek untuk mengambil berita-berita sepak bola liga Eropa.

Hasil wawancara Pak Diah dengan Gorbachev – populer dipanggil Gorby – akhirnya muncul, melalui teleks di ruangan pribadi Pak Diah, sayap kiri gedung Harian Merdeka di Jl. AM Sangaji. Besoknya, tidak saja Harian Merdeka menempatkan berita tersebut sebagai berita utama, juga koran-koran terbitan Jakarta, termasuk Kompas. Beberapa hari berita tersebut bergulir.

Pak BM Diah (alm) pemilik Harian Merdeka, salah seorang pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9-10 Februari 1946) di Surakarta, antara lain bersama Sumanang Surjowinoto (pendiri LKBN Antara), Abdul Rachmat Nasution (LKBN Antara/ayah pengacara Bang Adnan Buyung Nasution).

Pak Diah memimpin PWI hasil Kongres 1970 di Palembang, yang melahirkan pengurus ganda. Kepengurusan pertama, Pak Diah dengan PG Togas sebagai Sekjen. Kepengurusan kedua, dipimpin Pak Rosihan Anwar dengan Sekjen Pak Jacob Oetama. Pak Rosihan dan Pak Diah, sama-sama berjuang di Harian Merdeka pada awal terbit, 1 Oktober 1945. Pak Diah pemimpin redaksi, Pak Joesoef Isak wakil, dan Pak Rosihan Anwar sebagai redaktur.

Pada 80-an, Harian Merdeka yang dipimpin Pak Diah, cenderung menyuarakan politik Uni Soviet. Dalam berbagai kesempatan, termasuk diwawancarai Kompas, Pak Diah mengakui kecenderungan tersebut. Kompas bahkan menyebutkan Harian Merdeka sebagai koran lobi Soviet.

Menurut Pak Diah, alasannya memilik sikap politik pro Blok Timur, untuk penyeimbang sikap politik pemerintah Orde Baru yang cenderung ke Blok Barat, yang dipimpin Amerika Serikat. Masa itu – yang disebut sebagai masa Perang Dingin – Soviet bersama negara-negara Pakta Warsawa, adalah pemimpin Blok Timur, sedangkan Amerika bersama NATO memimpin Blok Barat.

Ketika Pak Diah mengajukan rencana wawancara ke Kremlin, Gorbachev langsung setuju. Pak Diah didampingi Pak Soepeno Sumardjo (Merdeka) bertemu Gornachev di Istana Kremlin. Wawancara tersebut selanjutnya disebarluaskan ke seluruh dunia oleh Tass, Kantor Berita Uni Soviet. Penyebaran berita melalui Tass, cepat direspons para pemimpin dunia.

Nol Berganda

Dalam wawancara yang menghebohkan – dan bahkan kemudian mengubah peta politik dunia – itu, Pak Diah mengajukan berbagai pertanyaan, di antaranya tentang Perang Dingin senjata nuklir.

Gorbachev – tokoh pembaruan Uni Soviet, yang terkenal dengan ucapannya Glasnost-Perestroika – menyatakan Uni Soviet bersedia bertemu Presiden AS, Ronald Reagan, membahas pemusnahan rudal-rudal jarak sedang di Eropa dan Asia.

Gorbachev menawarkan konsep global double zero option, yakni Soviet bersedia memusnahkan senjata-senjata nuklir di berbagai negara, sebaliknya Amerika harus melakukan hal sama, memusnahkan senjata nuklirnya di Eropa.

Hasil wawancara itulah, yang kemudian direspons positif para pemimpin dunia. Mereka mendorong Gorbachev dan Reagan segera bertemu.

Enam bulan setelah wawancara Pak BM Diah, Gorbachev dan Ronald Reagan bertemu dan menandatangani perjanjian pemusnahan senjata nuklir jarak pendek dan menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) Treaty di Gedung Putih, Washington, 8 Desember 1987. Perjanjian itu mulai berlaku pada Juni 1988.

INF adalah perjanjian tahun yang menghapuskan semua rudal balistik dan jelajah berbasis darat dengan jarak 500 hingga 5.500 kilometer.

Setelah penandatanganan, Soviet memusnahkan sekitar 1.500 rudal jarak menengah dari Eropa. Sedangkan AS memusnahkan sekitar 750 rudal balistik jarak menengah. Dengan perjanjian itu, dunia memasuki gerbang damai, bebas dari ancaman senjata nuklir. Perang Dingin Blok Barat dengan Blok Timur pun berptoses menuju akhir.

Atas kebijakannya menghentikan Perang Dingin dan mewujudkan perdamaian dunia, Gorbachev mendapat penghargaan Nobel Perdamaian pada 15 Oktober 1990 di Oslo, Norwegia.

Pak BM Diah – kelahiran Barus, Sumatra Utara, 7 April 1917, wafat 10 Juni 1996 – telah membuat sejarah penting untuk dunia damai. Pak Diah pun sangat layak mendapatkan penghargaan di tingkat dunia.

Pak Diah. asisten Dr Ernest Douwes Dekker di Ksatrian Instituut (Sekolah Ksatrian) tersebut melalui wawancaranya dengan Gorbachev, telah menghasilkan perubahan dunia.

Pak Diah mendorong perdamaian dunia, yang kita nikmati saat ini. Inilah Mahkota Wartawan – mengutip judul buku Pak Diah, Mahkota Bagi Seorang Wartawan, diterbitkan Pustaka Merdeka –yang berkisah tentang wawancara dengan Gorbachev tersebut.

Dalam berbagai kesempatan pada rapat pengurus PWI Pusat, saya mengusulkan Pak Diah – putra Mohammad Diah, pegawai pabean di Aceh Barat – mendapatkan penghargaan dari PWI dan memperjuangkannya sebagai Pahlawan Nasional.

Pak Diah, mantan Menteri Penerangan, mantan Dubes di Cekoslowakia, Britania Raya, dan Thailand, adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah pers Indonesia. Perjuangannya sebagai wartawan – termasuk menyelamatkan naskah asli Proklamasi – tidak saja Mahkota indah baginya, tapi juga sejarah dan kehormatan bagi seluruh wartawan.***

*Asro Kamal Rokan*, Wapemred Harian Merdeka (1993-1994), Pemred Harian Republika (2003-2005), Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN Antara Redaksi(2005-2007), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023), kini anggota Dewan Penasihat PWI Pusat (2025-2030).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *