Sembilan dari 17 KPH di Lampung Revisi RPHJP

Cyberindonesia.net – Provinsi Lampung memiliki 11 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Tahun 2025, sembilan di antaranya melakukan revisi Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP).

Kesembilan KPH tersebut meliputi Pesisir Barat di Kabupaten Pesisir Barat, Liwa (Lampung Barat), Tangkit Tebak (Lampung Utara), Sungai Buaya (Mesuji), Way Waya (Lampung Tengah), Pematang Neba (Tanggamus), Gunung Balak (Lampung Timur), Batu Serampok (Bandar Lampung), dan Way Pisang (Lampung Selatan).

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Y Ruchyansyah menyatakan bahwa penyusunan RPHJP sangat penting karena dokumen ini menjadi pedoman pengelolaan hutan yang terarah dan berkelanjutan

“Proses revisi ini merupakan momentum penting untuk memperkuat perencanaan pengelolaan hutan,” ucap Ruchyansyah saat membuka Konsultasi Publik Penyusunan Revisi RPHJP 9 KPH di Hotel Golden Tulip, Kota Bandar Lampung, Jumat, 19 September 2025.

Ia berharap adanya dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) , khususnya dalam hal penganggaran, agar berjalan lebih optimal. Saat ini, sebagian kegiatan baru bisa berjalan dengan dukungan Dana Result-Based Payment (RBP) REDD+ Green Climate Fund (GCF) Tahun 2024/2025.

Ruchyansyah mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mendukung proses penyusunan RPHJP. Mulai dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemegang izin PBPH/PPKH, akademisi, dan mitra pembangunan.

“Kami berharap dokumen ini dapat menjadi landasan kuat dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehutanan, sekaligus mewujudkan pengelolaan hutan yang lebih lestari, inklusif, dan berkelanjutan di Provinsi Lampung,” ucapnya.

Diketahui, Provinsi Lampung memiliki kawasan hutan seluas 1.004.735 hektare (Ha) atau sekitar 28,45 persen dari luas wilayah provinsi. Terdiri atas Hutan Konservasi: 462.030 Ha, Hutan Lindung: 317.615 Ha, Hutan Produksi Terbatas: 33.358 Ha, dan Hutan Produksi Tetap: 191.732 Ha.

Ruchyansyah menyebutkan bahwa pengelolaan hutan Lampung masih menghadapi tantangan serius. Terutama akibat meningkatnya kebutuhan lahan seiring pertumbuhan penduduk, sehingga muncul perambahan, konflik tenurial, serta keberadaan desa dan pemukiman di dalam kawasan hutan.

Saat ini, terdapat 221 desa definitif di dalam kawasan hutan. Luasan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan pemukiman mencapai sekitar 10.000 Ha.

Selain itu, konflik juga terjadi antara masyarakat perambah dengan masyarakat sekitar kawasan, perusahaan, hingga tuntutan masyarakat adat. Batas kawasan hutan yang belum tuntas juga menjadi pemicu permasalahan.

Menurut Ruchyansyah, berbagai upaya telah dilakukan. Antara lain percepatan pengukuhan kawasan hutan melalui BPKH XX, patroli pengamanan hutan, serta fasilitasi perhutanan sosial melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, dan Kemitraan Kehutanan.

“Semua penanganan ini pada akhirnya bermuara di KPH sebagai ujung tombak pengelolaan di tingkat tapak,” ujarnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *