Jakarta, Cyeber Indonesia – Polemik pemilihan (RW.10) di Apartemen Greenbay Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, kembali mencuat muncul kembali ke permukaan. Perwakilan tiga warga Greenbay lagi-lagi mendatangi Balaikota DKI Jakarta, DPRD DKI, Walikota Jakarta Utara, hingga Kantor Kecamatan Penjaringan untuk menyampaikan surat resmi terkait dugaan pelanggaran dalam proses pemilihan RW.
Surat yang dibawa warga ini berisi laporan adanya indikasi kuat rekayasa dalam pemilihan Ketua RW 10. Mereka menilai proses demokrasi tingkat lingkungan tersebut tidak berjalan sesuai aturan, bahkan sarat kepentingan pihak tertentu yang mencoba mengondisikan hasil akhir.
Perwakilan warga, Elsye Noverita mengatakan proses pemilihan yang seharusnya berlangsung jujur, transparan justru dipenuhi sejumlah kejanggalan. Mulai dari verifikasi administrasi calon, dukungan lurah yang dinilai tidak netral, hingga dugaan pengabaian syarat-syarat formal bagi kandidat yang seharusnya gugur sejak awal.
“Pemilu RW ini seolah-olah sudah diatur sejak awal. Beberapa syarat penting diabaikan, sementara keberatan warga sama sekali tidak digubris. Inilah alasan kami harus mengadu lagi ke pemerintah provinsi,” ujar Elsye, pada awak media, Jum’at (19/9/2025).
Kekecewaan masyarakat Greenbay Pluit semakin besar karena laporan mereka sebelumnya tak kunjung mendapat respon yang jelas. Kehadiran mereka bolak-balik ke Balaikota dan DPRD DKI merupakan bentuk desakan agar pemerintah turun tangan langsung.
Mereka meminta agar proses pemilihan RW 10 ditinjau ulang, bahkan bila perlu dilakukan pemungutan suara ulang. Tujuannya, agar hasil pemilihan benar-benar mencerminkan aspirasi warga, bukan hasil rekayasa segelintir pihak.
“RW itu adalah perpanjangan tangan warga. Kalau sejak awal proses pemilihannya cacat hukum, bagaimana mungkin RW bisa menjalankan amanah masyarakat?” ungkapnya.
Tak hanya menyasar eksekutif, perwakilan warga Greenbay Pluit juga berharap DPRD DKI menjalankan fungsi pengawasan. Menurut mereka, DPRD tidak boleh tinggal diam melihat adanya indikasi pelanggaran demokrasi di tingkat lokal, apalagi jika menyangkut kehidupan ribuan penghuni apartemen.
Anggota DPRD disebut memiliki peran penting untuk memastikan setiap proses pemilihan RW berjalan sesuai aturan, bebas dari intervensi, serta mengedepankan prinsip demokrasi partisipatif.
Kasus di Greenbay Pluit ini menjadi contoh betapa rentannya praktik demokrasi di level terbawah. Seharusnya pemilihan RW menjadi ruang partisipasi warga yang sehat, namun faktanya seringkali diselimuti intrik, kepentingan politik lokal, bahkan manipulasi aturan.
Bagi warga, RW bukan sekadar jabatan simbolik, tetapi menyangkut pengelolaan fasilitas umum, koordinasi keamanan, hingga urusan administrasi sehari-hari. Karena itu, mereka menolak jika jabatan RW hanya dijadikan alat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Meski perjuangan panjang ini melelahkan, warga Greenbay Pluit menegaskan tidak akan berhenti. Mereka berkomitmen terus menempuh jalur hukum maupun administratif demi mendapatkan keadilan.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Pemilihan RW harus sah, transparan, dan sesuai aturan. Jika tidak, kami siap membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi,” tegas Julianty.
Sekedar diketahui polemik pemilihan RW 10 di Apartemen Greenbay Pluit bukan sekadar persoalan lokal, tetapi menjadi cermin rapuhnya praktik demokrasi di akar rumput. Warga berharap pemerintah provinsi DKI Jakarta, DPRD, hingga aparat wilayah Penjaringan tidak menutup mata, melainkan segera mengambil langkah tegas.


