Jakarta, Cyberindonesia.net – Kasus hukum yang menjerat tersangka Budi kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, sudah tujuh tahun berlalu namun berkas perkara belum juga dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta (Kejati DK Jakarta).
Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya “permainan petak umpet” antara penyidik Polda Metro Jaya dan pihak kejaksaan. Hal tersebut diungkapkan DIRHUBAG Monitoring Saber Pungli Indonesia (MSPI) Thomson Gultom, setelah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor: B/4448/VIII/RES.1.114/2025/Ditreskrimum tertanggal 25 Agustus 2025 dari terlapor, Suhari alias Aoh, Selasa (26/8/2025).
Menurut Thomson, ada kejanggalan yang patut dicurigai dalam penanganan kasus ini.
“Saya kira ada sesuatu yang ditutup-tutupi oleh penyidik maupun JPU terkait berkas tersangka Budi. Kalau kita kaji secara materil, hasil penyidikan sebenarnya sudah memenuhi ketentuan Pasal 184 KUHAP. Jadi kenapa masih belum dinyatakan lengkap?” ujarnya.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa alat bukti yang sah dalam sistem peradilan pidana meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa. Menurut Thomson, semua unsur itu sudah dipenuhi penyidik.
Dalam SP2HP yang diterimanya, disebutkan bahwa penyidik telah melakukan serangkaian proses, mulai dari pemeriksaan saksi pelapor dan saksi peristiwa, penyitaan barang bukti, pemeriksaan ahli laboratorium forensik, pemeriksaan ahli pidana, hingga pemeriksaan ulang terhadap saksi maupun tersangka. Bahkan berkas perkara juga sudah beberapa kali dilimpahkan ke JPU.
“Kalau bicara syarat materil, perbuatan pidana sudah jelas. Sanksi yang disangkakan juga sudah diatur dalam pasal. Dari sisi formil, tahapan penyidikan juga sudah dijalankan. Jadi, sebenarnya sudah lengkap. Lalu apa lagi kendalanya?” tegas Thomson.
Lebih lanjut, Thomson mengingatkan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurutnya, bukti-bukti yang dikumpulkan penyidik sebenarnya sudah cukup untuk dibawa ke pengadilan. Karena itu, ia mempertanyakan mengapa proses hukum tersangka Budi seperti sengaja diperlambat.
Kasus ini berawal dari Laporan Polisi Nomor: LP/5245/IX/2018/PMJ/Dit. Reskrimum tertanggal 29 September 2018. Dalam laporan tersebut, Budi diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, serta pemaksaan dengan ancaman kekerasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 335 KUHP.
Peristiwa itu terjadi di Toko Muara Teknik, Muara Baru, Jakarta Utara, pada 14 September 2018. Penanganan laporan ini kemudian ditangani oleh Unit II Jatanras Subdit Umum Ditreskrimum Polda Metro Jaya, dengan sejumlah surat perintah penyidikan yang terus diperbarui sejak 2018 hingga 2025.
Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/4083/XI/2018/Ditreskrimum, tertanggal 15 November 2018
Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/S-1.1/3051/XI/2024/Ditreskrimum, tertanggal 21 November 2024
Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/S-1.1/261/I/2025/Ditreskrimum, tertanggal 13 Januari 2025
Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/S-1.1/316/VII/2025/Ditreskrimum, tertanggal 31 Juli 2025
Dengan mandeknya kasus ini, MSPI mendesak agar penyidik dan jaksa tidak bersandiwara serta bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing.
“Korban berharap ada keadilan dan kepastian hukum. Jangan sampai kasus ini jadi tontonan publik karena penyidik dan JPU terkesan tidak serius. Keadilan tidak boleh ditunda-tunda,” pungkas Thomson Gultom.***


