Dugaan Pengondisian RT/RW di Apartemen Greenbay: Kelurahan Pluit Dinilai Tutup Mata

Jakarta165 views

Jakarta, Cyberindonesia – Polemik pemilihan pengurus Rukun tetanga dan Rukun Warga di Apartemen Greenbay Pluit, Jakarta Utara, kembali menjadi sorotan publik. Dugaan adanya pengondisian proses pemilihan disebut berjalan mulus tanpa hambatan, bahkan terkesan diabaikan pihak Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan.

Dari pantauan media ini ditemukan fakta bahwa ada Ketua RT yang tidak berdomisili di Greenbay, namun memiliki KTP dengan alamat di apartemen tersebut. Lebih mengejutkan, sejumlah KTP muncul atas nama individu yang tidak dikenal oleh para penghuni resmi.

“Waktu pemilihan RT03 itu tidak tigal disini. Tapi betul KTP nya Greenbay, kalau melihat surat memenuhi syarat, tapi manusianya tidak tinggal disini. Yunit bukan atas nama dia. Saya pernah tanya dia mengakui katanya dia udah beli belum balik nama,” kata Suhari, salah satunya pemilik aset apartemen Greenbay, dilangsir, Senin (11/8/2025).

Temuan ini memunculkan kecurigaan bahwa data kependudukan digunakan untuk kepentingan tertentu dalam proses pemilihan pengurus lingkungan.

Sementara Lurah Pluit, Ahmad Faizal, ketika dikonfirmasi terkait pemilihan RT sebelumnya menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta. “Pemilihan sudah mengikuti aturan yang berlaku,” kata Faizal waktu lalu.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal berbeda. Salah satu contoh mencolok adalah Ketua RT 03 yang memiliki KTP beralamat di Greenbay, tetapi faktanya tidak tinggal sesuai KTP. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai validitas data pemilih dan integritas proses pemilihan.

Persoalan tidak berhenti di pemilihan RT waktu bulan Januari 2025 lalu. Baru-baru ini, muncul rencana untuk menggelar pemilihan RW di lingkungan apartemen tersebut.

Dugaan motif dan pola pengondisian yang sama kembali mengedus. Ahmad Faizal disebut tetap memberi lampu hijau atas rencana tersebut dengan dalih bahwa proses akan dilakukan sesuai Pergub DKI No. 22.

Namun, pernyataan tersebut justru memperkuat kecurigaan publik. Banyak pihak menilai bahwa penerapan aturan hanya dijadikan tameng, tanpa adanya langkah tegas untuk memverifikasi data dan memastikan proses berlangsung adil.

Ahli pemerintahan Universitas Trisakti, Gunawan, memberikan pandangannya terkait masalah ini. Menurutnya, pihak kelurahan memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap data kependudukan dan proses pemilihan pengurus lingkungan.

“Prinsip pengawasan dan evaluasi harus dijalankan. Kalau sudah ada bukti dan temuan, mestinya itu jadi bahan untuk mengambil tindakan. Kalau ini diabaikan, ya artinya ada kelalaian,” tegas Gunawan.

Ia menambahkan, ketidaktegasan dalam mengawasi proses demokrasi di tingkat lingkungan bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang dan manipulasi data.

“Kalau dibiarkan, dampaknya bukan cuma di Greenbay, tapi bisa jadi preseden buruk di wilayah lain,” lanjutnya.

Sejumlah penghuni Greenbay Pluit yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa dengan sikap pihak kelurahan. Mereka menilai, seharusnya pemerintah kelurahan menjadi pengawas netral dan memastikan setiap proses pemilihan berjalan sesuai aturan serta melibatkan warga yang benar-benar berdomisili.

“Kami yang tinggal di sini ingin punya pengurus yang benar-benar tahu kondisi dan kebutuhan penghuni, bukan yang hanya numpang alamat di KTP,” ucap Anee.

Para penghuni juga meminta adanya verifikasi lapangan terhadap data pemilih dan calon pengurus, serta keterbukaan informasi mengenai daftar pemilih tetap (DPT) sebelum pemilihan dilaksanakan.

Pengamat tata kelola pemerintahan menilai, solusi atas permasalahan ini adalah transparansi penuh dalam proses pemilihan RT/RW. Proses verifikasi harus dilakukan secara terbuka, melibatkan perwakilan warga, dan memastikan bahwa hanya warga dengan domisili asli yang memiliki hak pilih maupun hak untuk dipilih.

Selain itu, pihak kelurahan diharapkan proaktif melakukan evaluasi dan menindaklanjuti temuan yang sudah ada, bukan sekadar berlindung di balik dalih “sesuai aturan”. Tanpa pengawasan yang ketat, pengondisian pemilihan berpotensi merusak tatanan demokrasi di tingkat lingkungan.

Tidak menutup kemungkinan, permasalahan ini akan dibawa ke ranah hukum jika terbukti ada pelanggaran administrasi atau manipulasi data kependudukan. Aktivis dan kelompok warga sudah mulai mempertimbangkan untuk melapor ke pihak berwenang, termasuk Ombudsman RI dan Inspektorat DKI Jakarta.

“Kami tidak ingin demokrasi di lingkungan kami hanya menjadi formalitas yang dikendalikan oleh segelintir pihak,” tegas Anee.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *