Jakarta, Cyber Indonesia— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tengah melakukan kajian mendalam terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini diambil untuk mengantisipasi kemungkinan terpangkasnya kewenangan lembaga antirasuah tersebut, gunakan memberantas tindak pidana korupsi.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menegatakan bahwa tinjauannya agar pasal-pasal dalam RUU KUHAP yang berpotensi melemahkan fungsi KPK bisa diidentifikasi lebih awal. Ia berharap hal-hal krusial ini dapat dikomunikasikan secara terbuka kepada pemerintah dan DPR RI sebagai pembuat undang-undang.
“Harapannya, pemerintah dan legislatif bisa mendapatkan informasi yang utuh bahwa ada sejumlah pasal yang berdampak serius terhadap efektivitas pemberantasan korupsi,” ujar Setyo saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (31/7/2025).
Menurutnya, sebelum RUU KUHAP disahkan, semua pihak perlu mempertimbangkan kondisi aktual dan kebutuhan hukum acara yang dijalankan oleh KPK selama ini. Setyo menilai pentingnya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan demi menjaga integritas sistem hukum nasional.
Sementara itu, Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut KPK telah mengidentifikasi sedikitnya 17 poin krusial dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHAP yang dinilai tidak sejalan dengan tugas dan kewenangan KPK.
“Tindak pidana korupsi adalah lex specialis. Maka, pengaturan hukum acara juga seharusnya bersifat khusus,” tegas Budi.
Lebih lanjut, Budi menyampaikan Pasal 84 huruf h dalam RUU KUHAP terkait aturan pencekalan ke luar negeri. Draf tersebut, kata dia hanya dapat dilakukan terhadap pihak yang sudah berstatus tersangka.
Padahal, masih sambungnya Undang-Undang KPK, pencekalan juga dapat diberlakukan terhadap saksi yang diduga kuat terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“Efektivitas pencegahan keluar negeri itu krusial, agar penyidik bisa menjamin kelancaran proses hukum. Kalau saksi penting justru lolos ke luar negeri, proses penanganan kasus bisa terhambat,” ujar Budi.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menegakkan RUU KUHAP yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR hanya berlaku untuk tindak pidana umum. Untuk tindak pidana khusus seperti korupsi, penyalahgunaan narkotika, dan terorisme, menurutnya, tetap akan diatur melalui undang-undang tersendiri.
“Secara asas hukum, lex specialis derogate legi generali, artinya aturan khusus mengesampingkan aturan umum,” kata Eddy pada Selasa lalu, (22/7/2025).
Eddy menilai ketentuan dalam RUU KUHAP tidak akan berdampak langsung pada proses hukum terhadap kejahatan luar biasa seperti korupsi.
Meski demikian, KPK mengkajian hal itu tetap diperlukan untuk memastikan tidak terjadi tumpang tindih aturan ataupun potensi multitafsir yang dapat digunakan untuk melemahkan penegakan hukum dalam kasus korupsi.