JAKARTA — Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Isi surat tersebut permohonan agar Presiden membahas pemulangan buronan kasus korupsi Riza Chalid.
Pertemuan antara kedua kepala pemerintahan ini dijadwalkan sebagai forum strategis membahas kerja sama bilateral di berbagai sektor. Namun di tengah diplomasi kenegaraan tersebut, MAKI berharap ada ruang untuk menyampaikan aspirasi publik—khususnya dalam upaya penegakan hukum terhadap buronan kelas kakap seperti Riza Chalid.
Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung RI dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina. Namun hingga kini, Kejaksaan belum berhasil menangkap dan menahan sosok yang dikenal luas di dunia perdagangan migas itu.
Salah satu kendalanya adalah keberadaan Riza Chalid yang telah lama tidak tinggal di wilayah Indonesia. Ia diduga bermukim di Malaysia, khususnya di wilayah Johor Bahru, dan sempat disebut-sebut telah berpindah ke Jepang.
Namun, menurut MAKI, indikasi kuat menyebutkan bahwa Malaysia tetap menjadi tempat yang paling sering dihuni Riza.
“Informasi keberadaan Riza Chalid di Malaysia telah mendapat penguatan faktual, termasuk kebiasaannya tinggal di Johor dan kota Johor Bahru,” ungkap Boyamin dalam keterangan tertulis pada Senin (28/7/2025).
Lebih lanjut, yang menarik perhatian publik adalah dugaan kedekatan antara Riza Chalid dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. MAKI menyebutkan adanya jejak digital berupa foto yang memperlihatkan Riza Chalid dan Anwar Ibrahim tengah menghadap Sultan Kedah pada 2 Oktober 2022.
Lebih dari itu, Riza Chalid juga diduga menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga Kesultanan Malaysia, yang memperkuat posisi hukumnya di negara jiran tersebut. Bahkan disebutkan bahwa ia menikah dengan kerabat dari Kesultanan Johor atau Kedah, yang menjadikannya semakin “kebal” dari proses hukum Indonesia.
“Kedekatan pribadi antara Riza Chalid dan Anwar Ibrahim sangat terlihat sebelum Anwar menjadi Perdana Menteri. Hal ini seharusnya bisa menjadi pintu masuk diplomasi untuk menyelesaikan perkara hukum yang mandek karena keberadaan buronan di negara lain,” terang Boyamin.
Melalui surat terbukanya, MAKI berharap Presiden Prabowo bisa menggunakan pengaruh dan posisi diplomatiknya untuk membahas secara langsung isu pemulangan Riza Chalid dengan Anwar Ibrahim. Boyamin menyadari proses ekstradisi memang merupakan tanggung jawab formal Pemerintah Malaysia. Namun ia juga menekankan pentingnya komunikasi politik di tingkat kepala pemerintahan.
“Untuk memulangkan Riza Chalid diperlukan kerja sama yang baik antara kedua pemerintahan. Meskipun itu menjadi kewajiban Malaysia, namun pembicaraan khusus antara Presiden Prabowo dan YAB Anwar Ibrahim tetap diperlukan untuk mempercepat proses pemulangan,” ujar Boyamin.
Ia menambahkan bahwa proses hukum bisa berlarut-larut bila tidak diiringi dengan tekanan diplomatik yang memadai. Oleh karena itu, momen pertemuan bilateral ini menjadi peluang emas yang tidak boleh dilewatkan.
Boyamin juga mengingatkan keberhasilan masa lalu pemerintah Indonesia saat memulangkan buronan Djoko Tjandra dari Malaysia. Keberhasilan tersebut tak lepas dari kerja sama dan komunikasi erat antara kedua negara. Hal yang sama, menurut Boyamin, bisa diupayakan dalam kasus Riza Chalid.
“Pengalaman memulangkan Djoko Tjandra menjadi modal kuat. Hubungan baik dengan Malaysia seharusnya bisa dimanfaatkan kembali, terlebih saat ini Presiden RI adalah sosok yang tegas dan memiliki jaringan luas di kawasan ASEAN,” katanya.
Lebih dari itu, Boyamin menyebut ada tiga alasan utama di balik langkah MAKI mengirimkan surat terbuka kepada Presiden:
1. Pertemuan bilateral resmi antara Presiden Prabowo dan PM Anwar Ibrahim pada 28 Juli 2025 di Jakarta.
2. Keberadaan kuat Riza Chalid di Malaysia, khususnya Johor Bahru, yang kerap menjadi tempat tinggalnya.
3. Penetapan status tersangka terhadap Riza Chalid oleh Kejaksaan Agung dalam kasus besar tata kelola minyak mentah Pertamina yang merugikan negara.
“Kami menginginkan ada ketegasan dari negara dalam menangani kasus-kasus besar seperti ini. Tidak boleh ada impunitas bagi koruptor, apalagi yang sudah lama melarikan diri dan hidup nyaman di luar negeri,” tegas Boyamin.